Terumbu Karang Lombok Utara Rusak
TEMPO Interaktif, Mataram - Pemanasan global mengancam terumbu karang di perairan Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air, Kabupaten Lombok Utara. "Sekitar 15 persen dari 2.954 hektare hamparan terumbu karang mati," kata Sudirman, Kepala Seksi Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Dinas Kelautan dan Perikanan Lombok Utara.
Peristiwa ini menjadi ancaman karena keindahan bawah laut merupakan unggulan wisata bahari. Perolehan pendapatan asli daerah dari wisata bahari di kabupaten ini mencapai Rp 183,33 juta atau 75 persen dari keseluruhan pendapatan sektor pariwisata.
Pemerintah dan masyarakat berupaya mengatasi kejadian ini. Front Satgas Gili, yang diketuai Usman Ali, melakukan penempatan terumbu karang sistem biorock yang dialiri listrik guna memacu pertumbuhan karang di Gili Trawangan. Pembiayaan kegiatan ini berasal dari dana gotong-royong pelaku wisata bahari. "Sudah enam kali menempatkan terumbu karang sistem biorock," kata Sudirman.
Upaya yang sama dilakukan di perairan Mulur, Teluk Dalam Kren, dan Sire. Hingga saat ini, ada 8 hektare hamparan terumbu karang yang merupakan hasil transplantasi (stek) Yayasan Bahari Lestari.
Pemerintah daerah memberi 20 meja terumbu karang yang rencananya ditempatkan di laut pekan depan. Setiap unit ditempati sekitar 100 batang stek karang. Setiap unit terumbu karang dirangkai seperti rantai yang ditumpuk menjadi bentuk candi.
Rusaknya Terumbu Karang di Pulau Air
TEMPO Interaktif, Pulau itu tidak luas, hanya 2,9 hektare. Sekilas tidak ada yang istimewa dibandingkan dengan pulau lainnya di gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Rimbunan pohon dan semak-semak menutupi hampir seluruh permukaan tanahnya. Tak jauh dari bibir pantai tampak beberapa cottage semipermanen dan sebuah lapangan tenis.
Yang menarik, pulau itu tidak bisa dimasuki dari sembarang arah. Kapal harus masuk dari arah utara, melalui sebuah kanal yang membentuk semacam boulevard air dengan lebar 30-40 meter dan memanjang sejauh 300-an meter ke arah pantai. Selain gerbang itu, tak ada lagi pintu masuk. Sebab, laut ditutup oleh "pagar" permanen di bawah air yang mengelilingi pulau. Karena itu, air di bagian dalam pagar jadi tampak tenang, bak kolam renang alami.
Tapi bukan itu soalnya kalau Pulau Air Kecil--nama pulau yang dikuasai pengusaha Ponco Sutowo itu--menjadi sorotan masyarakat sampai pekan-pekan ini. Masalahnya, boulevard serta sebagian sisi pulau di sebelah selatan telah ditimbuni atau istilah lazimnya direklamasi pasir dan terumbu karang yang digaruk dari pantai di sekelilingnya. Akibatnya, terjadi perusakan terumbu karang, biota laut yang antara lain berfungsi menahan abrasi air laut.
Untuk pembuatan gerbang raksasa itu saja, PT Siti Tanjung, perusahaan milik Ponco itu, setidaknya telah mengeruk lahan 12 ribu meter persegi dengan kedalaman keruk dua meter. Terumbu karang yang dikeruk itu kemudian ditimbun di sisi kiri dan kanan jalan masuk hingga membentuk dua tanjung kembar yang masing-masing memiliki lebar 3-4 meter. Luas itu belum ditambah sisi lain Pulau Air di sebelah selatan, barat, dan timur.
Diperkirakan, luas Pulau Air, lengkap dengan boulevard dan dermaganya, setelah direklamasi, meningkat dua kali lipat dari luas semula. Inilah yang menjadi pemicu persoalan. Kegiatan reklamasi itu belum memiliki analisa mengenai dampak lingkungan (amdal) dan menyalahi izin yang diberikan.
Ketika wartawan TEMPO mengunjungi pulau yang berseberangan dengan Pulau Pramuka (ibu kota Kecamatan Kepulauan Seribu) itu, dua pekan lalu, tampak dua buah beko--alat berat yang dipakai untuk mengeruk terumbu karang--dan sebuah kapal tongkang nangkring di dermaga.
PT Siti Tanjung mulai mereklamasi pulau itu lebih dari dua tahun lalu. Tidak ada yang berani mengusik proyek perluasan pulau itu, sampai soal amdalnya diributkan. Amdal inilah yang menjadi petunjuk utama perubahan mana yang boleh dilakukan--karena dianggap tidak merusak lingkungan--dan mana yang tidak.
PT Siti Tanjung sendiri bukannya tidak mengantongi izin sama sekali. Menurut R.L. Poerba, karyawan PT Siti Tanjung yang ditunjuk untuk mengurus masalah ini, perusahaannya telah memegang rekomendasi dari Departemen Perhubungan untuk pembuatan dermaga. Namun ia mengaku memang belum memiliki amdal.
Di sinilah soalnya. Pengertian "pembangunan dermaga" itu yang tak jelas benar. Soalnya, dermaga yang dimaksud PT Siti bukanlah dermaga dalam pengertian kecil. Jika proyek ini selesai, dermaga yang diapit dua tanjung kembar tadi paling tidak bisa menampung 100 kapal pesiar--saking besarnya. Mungkin lebih tepat disebut pelabuhan kecil.
Selain itu, menurut Kepala Bagian Ketertiban Kodya Jakarta Utara, Boy Firman, PT Siti juga belum memiliki surat izin penguasaan dan pengelolaan tanah (SIPPT). Untuk tanah di daratan, SIPPT wajib dipunyai oleh pemilik tanah dengan luas paling sedikit 5.000 meter persegi. "Tapi, untuk pulau, walau satu meter persegi pun harus ada izinnya," ujar Boy.
Namun, pihak PT Siti berjanji segera melengkapi persyaratan yang dibutuhkan. Sebelum kelengkapan itu terpenuhi, mereka menghentikan pembangunan proyek dermaga itu.
Di luar soal perizinan yang tidak ditaati, masalah kerusakan terumbu karang merupakan problem yang paling serius. Soalnya, selain bertanggung jawab terhadap terhindarnya pantai dari abrasi, terumbu karang juga merupakan tumbuhan yang menyediakan oksigen bagi biota laut lainnya.
Indonesia sendiri merupakan tempat tumbuhnya 20 persen terumbu karang dunia. Artinya, jika terumbu karang Indonesia rusak, dunia akan kehilangan seperlima tumbuhan laut ini. Kondisi terumbu karang Indonesia sendiri sudah mengkhawatirkan. Menurut data yang dikeluarkan Environment Department World Bank April tahun lalu, hanya 29 persen terumbu karang Indonesia yang masih baik. Selebihnya rusak berat, terutama di wilayah laut Maluku dan Kepulauan Seribu.
Di gugusan Kepulauan Seribu, Pulau Air hanyalah salah satu penyumbang terhadap perusakan terumbu karang. Dari dulu gugusan yang sebagian pulaunya telah dikapling dan dimiliki secara pribadi itu dianggap sebagai sumber terjadinya kerusakan lingkungan. Pulau Bira adalah contoh lainnya. Pulau yang dimiliki pengusaha Benny Sumampouw ini telah dibangun dermaga dengan urukan terumbu karang. Lapangan golf seluas 10 hektare yang dibangun di pulau itu juga tanpa dukungan amdal.
Di sisi lain, perusakan alam juga berpengaruh pada kegiatan ekonomi, paling tidak di bidang pariwisata. Seperti yang dikhawatirkan Djafar Tirtoseno, ketua perhimpunan pengusaha wisata di wilayah tersebut, kerusakan kekayaan laut bisa mempengaruhi arus wisatawan yang peduli lingkungan. Jadi, ya, jangan mikirin diri sendirilah.